UNDANG‑UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 1992
TENTANG
LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis untuk memantapkan perwujudan wawasan nusantara, memperkukuh ketahanan nasional, dan mempererat hubungan antar bangsa dalam usaha mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945;
b. bahwa transportasi di jalan sebagai salah satu moda transportasi tidak dapat dipisahkan dari moda‑moda transportasi lain yang ditata dalam sistem transportasi nasional yang dinamis dan mampu mengadaptasi kemajuan di masa depan, mempunyai karakteristik yang mampu menjangkau seluruh pelosok wilayah daratan dan memadukan moda transportasi lainnya, perlu lebih dikembangkan potensinya dan ditingkatkan peranannya sebagai penghubung wilayah baik nasional maupun internasional, sebagai penunjang, pendorong, dan penggerak pembangunan nasional demi peningkatan kesejahteraan rakyat;
c. bahwa peraturan perundang‑undangan yang mengatur lalu lintas dan angkutan jalan yang ada pada saat ini tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. bahwa untuk meningkatkan pembinaan dan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan‑jalan sesuai dengan perkembangan kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia serta agar lebih berhasilguna dan berdayaguna dipandang perlu menetapkan ketentuan mengenai lalu lintas dan angkutan jalan dalam Undang‑undang;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang‑undang Dasar 1945;
2. Undang‑undang Nomor 13 tahun 1980 tentang Jalan (Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3186);
Dengan
persetujuan
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
:
Menetapkan : UNDANG‑UNDANG TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN.
BAB I
KETENTUAN
UMUM
Pasal
1
Dalam Undang‑undang ini yang dimaksud dengan :
1. Lalu lintas adalah gerak kendaraan, orang, dan hewan di jalan;
2. Angkutan adalah pemindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan;
3. Jaringan transportasi jalan adalah serangkaian simpul dan/atau ruang kegiatan yang dihubungkan oleh ruang lalu lintas sehingga membentuk satu kesatuan sistem jaringan untuk keperluan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan;
4. Jalan adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum;
5. Terminal adalah prasarana transportasi jalan untuk keperluan memuat dan menurunkan orang dan/atau barang serta mengatur kedatangan dan pemberangkatan kendaraan umum, yang merupakan salah satu wujud simpul jaringan transportasi;
6. Kendaraan adalah satu alat yang dapat bergerak di jalan, terdiri dari kendaraan bermotor atau kendaraan tidak bermotor;
7. Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang berada pada kendaraan itu;
8. Perusahaan angkutan umum adalah perusahaan yang menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang dengan kendaraan umum di jalan;
9. Kendaraan umum adalah setiap kendaraan bermotor yang disediakan untuk dipergunakan oleh umum dengan dipungut bayaran;
10. Pengguna jasa adalah setiap orang dan/atau badan hukum yang menggunakan jasa angkutan, baik untuk angkutan orang maupun barang.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Transportasi jalan sebagai salah satu moda transportasi nasional diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, kepentingan umum, keterpaduan, kesadaran hukum, dan percaya pada diri sendiri.
Pasal 3
Transportasi jalan diselenggarakan dengan tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan dengan selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman dan efisien, mampu memadukan moda transportasi lainnya, menjangkau scluruh pelosok wilayah daratan, untuk menunjang pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas sebagai pendorong, penggerak dan penunjang pembangunan nasional dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat.
BAB
III
PEMBINAAN
Pasal
4
(1) Lalu lintas dan angkutan jalan dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah.
(2) Penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan dilaksanakan bcrdasarkan ketentuan dalam Undang‑undang ini.
Pasal
5
(1) Pembinaan lalu lintas dan angkutan jalan diarahkan untuk
meningkatkan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan dalam keseluruhan
moda transportasi secara terpadu dengan memperhatikan seluruh aspek kehidupan
masyarakat untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PRASARANA
Bagian Pertama
Jaringan Transportasi Jalan
Pasal 6
(1) Untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan yang terpadu dengan moda transportasi lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ditetapkan jaringan transportasi jalan yang menghubungkan seluruh wilayah tanah air.
(2) Penetapan jaringan transportasi jalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan pada kebutuhan transportasi, fungsi, peranan, kapasitas lalu lintas, dan kelas jalan.
Bagian Kedua
Kelas Jalan dan Penggunaan
Jalan
Pasal 7
(1) Untuk pengaturan penggunaan jalan dan pemenuhan kebutuhan angkutan, jalan dibagi dalam beberapa kelas.
(2) Pengaturan kelas jalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 8
(1) Untuk keselamatan, keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas serta kemudahan bagi pemakai jalan, jalan wajib dilengkapi dengan :
a. rambu‑rambu;
b. marka jalan;
c. alat pemberi isyarat lalu lintas;
d. alat pengendali dan alat pengaman pemakai jalan;
e. alat pengawasan dan pengamanan jalan;
f. fasilitas pendukung kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan yang berada di jalan dan di luar jalan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Terminal
Pasal 9
(1) Untuk menunjang kelancaran mobilitas orang maupun arus barang dan untuk terlaksananya keterpaduan intra dan antar moda secara lancar dan tertib, di tempat‑tempat tertentu dapat dibangun dan diselenggarakan terminal.
(2) Pembangunan terminal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh pemerintah dan dapat mengikutsertakan badan hukum Indonesia.
(3) Penyelenggaraan terminal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh pemerintah.
(4) Ketentuan mengenai pembangunan dan penyelenggaraan terminal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 10
(1) Pada terminal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dapat dilakukan kegiatan usaha penunjang.
(2) Kegiatan usaha penunjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Fasilitas Parkir Untuk Umum
Pasal 11
(1) Untuk menunjang keselamatan, keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan dapat diadakan fasilitas parkir untuk umum.
(2) Fasilitas parkir untuk umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diselenggarakan oleh Pemerintah, badan hukum Indonesia, atau warga negara Indonesia.
(3) Ketentuan mengenai fasilitas parkir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
KENDARAAN
Bagian Pertama
Persyaratan Teknis dan Laik
Jalan
Kendaraan Bermotor
Pasal
12
(1) Setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan harus sesuai dengan peruntukannya, memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan serta sesuai dengan kelas jalan yang dilalui.
(2) Setiap kendaraan bermotor, kereta gandengan, kereta tempelan dan kendaraan khusus yang dibuat dan/atau dirakit di dalam negeri serta diimpor, harus sesuai dengan peruntukan dan kelas jalan yang akan dilaluinya serta wajib memenuhi pcrsyaratan teknis dan laik jalan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengujian Kendaraan Bermotor
Pasal 13
(1) Setiap kendaraan bermotor, kereta gandengan, kereta tempelan, dan kendaraan khusus yang dioperasikan di jalan wajib diuji.
(2) Pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi uji tipe dan/atau uji berkala.
(3) Kendaraan yang dinyatakan lulus uji sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan tanda bukti.
(4) Persyaratan, tata cara pengujian, masa berlaku, dan pemberian tanda bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Pendaftaran Kendaraan
Bermotor
Pasal 14
(1) Setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan wajib didaftarkan.
(2) Sebagai tanda bukti pendaftaran diberikan bukti pendaftaran kendaraan bermotor.
(3) Syarat‑syarat dan tata cara pendaftaran, bentuk dan jenis tanda bukti pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Bengkel Umum Kendaraan
Bermotor
Pasal 15
(1) Agar kendaraan bermotor tetap memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan, dapat diselenggarakan bengkel umum kendaraan bermotor.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara penyelenggaraan bengkel umum kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kelima
Pemeriksaan
Kendaraan Bermotor di Jalan
Pasal
16
(1) Untuk keselamatan, keamanan, dan ketertiban lalu lintas dan angkutan jalan, dapat dilakukan pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan.
(2) Pemeriksaan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. pemeriksaan persyaratan teknis dan laik jalan;
b. pemeriksaan tanda bukti lulus uji, surat tanda bukti pendaftaran atau surat tanda coba kendaraan bermotor, dan surat izin mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14, Pasal 18, dan lain‑lain yang diperlukan.
(3) Ketentuan mengenai syarat‑syarat dan tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Persyaratan Kendaraan Tidak
Bermotor
Pasal 17
(1) Setiap kendaraan tidak bermotor yang dioperasikan di jalan wajib memenuhi persyaratan keselamatan.
(2) Persyaratan keselamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PENGEMUDI
Bagian Pertama
Persyaratan Pengemudi
Pasal 18
(1) Setiap pengemudi kendaraan bermotor, wajib memiliki surat izin mengemudi.
(2) Penggolongan, persyaratan, masa berlaku, dan tata cara memperoleh surat izin mengemudi, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
(1) Untuk mendapatkan surat izin mengemudi yang pertama kali pada setiap golongan, calon pengemudi wajib mengikuti ujian mengemudi, setelah memperoleh pendidikan dan latihan mengemudi.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pergantian Pengemudi
Pasal 20
(1) Untuk menjamin keselamatan lalu lintas dan angkutan di jalan, perusahaan angkutan umum wajib mematuhi ketentuan mengenai waktu kerja dan waktu istirahat bagi pengemudi.
(2) Ketentuan mengenai waktu kerja dan waktu istirahat bagi pengemudi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
VII
LALU
LINTAS
Bagian
Pertama
Tata
Cara Berlalu Lintas
Pasal 21
(1) Tata cara berlalu lintas di jalan adalah dengan mengambil jalur jalan sebelah kiri.
(2) Dalam keadaan tertentu dapat ditetapkan pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Persyaratan dan tata cara untuk melakukan pengecualian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
(1) Untuk keselamatan, keamanan, kelancaran, dan ketertiban lalu lintas dan angkutan jalan ditetapkan ketentuan‑ketentuan mengenai :
a. rekayasa dan manajemen lalu lintas;
b. gerakan lalu lintas kendaraan bermotor;
c. berhenti dan parkir;
d. penggunaan peralatan dan perlengkapan kendaraan bermotor yang diharuskan, peringatan dengan bunyi dan sinar;
c. tata cara menggiring hewan dan penggunaan kendaraan tidak bermotor di jalan;
f. tata cara penetapan kecepatan maksimum dan/atau minimum kendaraan bermotor;
g. perilaku pengemudi terhadap pejalan kaki;
h. penetapan muatan sumbu kurang dari muatan sumbu terberat yang diizinkan;
i. tata cara mengangkut orang dan/atau barang serta penggandengan dan penempelan dengan kendaraan lain;
j. penetapan larangan penggunaan jalan;
k. penunjukan lokasi, pembuatan dan pemeliharaan tempat pemberhentian untuk kendaraan umum.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23
(1) Pengemudi kendaraan bermotor pada waktu mengemudikan kendaraan bermotor di jalan, wajib :
a. mampu mengemudikan kendaraannya dengan wajar;
b. mengutamakan keselamatan pejalan kaki;
c. menunjukkan surat tanda bukti pendaftaran kendaraan bermotor, atau surat tanda coba kendaraan bermotor, surat izin mengemudi, dan tanda bukti lulus uji, atau tanda bukti lain yang sah, dalam hal dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16;
d. mematuhi ketentuan tentang kelas jalan, rambu‑rambu dan marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, waktu kerja dan waktu istirahat pengemudi, gerakan lalu lintas, berhenti dan parkir, persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor, penggunaan kendaraan bermotor, peringatan dengan bunyi dan sinar, kecepatan maksimum dan/atau minimum, tata cara mengangkut orang dan barang, tata cara penggandengan dan penempelan dengan kendaraan lain;
e. memakai sabuk keselamatan bagi pengemudi kendaraan bermotor roda empat atau lebih, dan mempergunakan helm bagi pengemudi kendaraan bermotor roda dua atau bagi pengemudi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang tidak dilengkapi dengan rumah‑rumah.
(2) Penumpang kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang duduk di samping pengemudi wajib memakai sabuk keselamatan, dan bagi penumpang kendaraan bermotor roda dua atau kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang tidak dilengkapi dengan rumah‑rumah wajib memakai helm.
Pasal 24
(1) Untuk keselamatan, keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan di jalan, setiap orang yang menggunakan jalan, wajib :
a. berperilaku tertib dengan mencegah hal‑hal yang dapat merintangi, membahayakan kebebasan atau keselamatan lalu lintas, atau yang dapat menimbulkan kerusakan jalan dan bangunan di jalan,
b. menempatkan kendaraan atau benda‑benda lainnya di jalan sesuai dengan peruntukannya.
(2) Pengemudi dan pemilik kendaraan bertanggung jawab terhadap kendaraan berikut muatannya yang ditinggalkan di jalan.
Bagian Kedua
Penggunaan Jalan Selain
Untuk Kegiatan Lalu Lintas
Pasal 25
(1) Penggunaan jalan untuk keperluan tertentu di luar fungsi sebagai jalan, dan penyelenggaraan kegiatan dengan menggunakan jalan yang patut diduga dapat mengganggu keselamatan, keamanan, dan kelancaran lalu lintas hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin.
(2) Persyaratan dan tata cara untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Pejalan Kaki
Pasal 26
(1) Pejalan kaki wajib berjalan pada bagian jalan dan menyeberang pada tempat penyeberangan yang telah disediakan bagi pejalan kaki.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Keempat
Kecelakaan
Lalu Lintas
Pasal
27
(1) Pengemudi kendaraan bermotor yang terlibat peristiwa kecelakaan lalu lintas, wajib :
a. menghentikan kendaraannya;
b. menolong orang yang menjadi korban kecelakaan;
c. melaporkan kecelakaan tersebut kepada pejabat polisi negara Republik Indonesia terdekat.
(2) Apabila pengemudi kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh karena keadaan memaksa tidak dapat melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b, kepadanya tetap diwajibkan segera melaporkan diri kepada pejabat polisi negara Republik Indonesia terdekat.
Pasal 28
Pengemudi kendaraan bermotor bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga, yang timbul karena kelalaian atau kesalahan pengemudi dalam mengemudikan kendaraan bermotor.
Pasal 29
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 tidak berlaku dalam hal :
a. adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan;
b. disebabkan perilaku korban sendiri atau pihak ketiga;
c. disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan.
Pasal 30
(1) Setiap pengemudi, pemilik, dan/atau pengusaha angkutan umum bertanggung jawab terhadap kerusakan jalan dan jembatan atau fasilitas lalu lintas yang merupakan bagian dari jalan itu yang diakibatkan oleh kendaraan bermotor yang dioperasikannya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku dalam hal adanya keadaan memaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a.
Pasal 31
(1) Apabila korban meninggal, pengemudi dan/atau pemilik dan/atau pengusaha angkutan umum wajib memberi bantuan kepada ahli waris dari korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman.
(2) Apabila terjadi cedera terhadap badan atau kesehatan korban, bantuan yang diberikan kepada korban berupa biaya pengobatan.
Bagian
Kelima
Asuransi
Pasal
32
(1) Setiap kendaraan umum wajib diasuransikan terhadap kendaraan itu sendiri maupun terhadap kerugian yang diderita pihak ketiga sebagai akibat pengoperasian kendaraan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 33
(1) Pengusaha angkutan umum wajib mengasuransikan orang yang dipekerjakannya sebagai awak kendaraan terhadap resiko terjadinya kecelakaan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
ANGKUTAN
Bagian Pertama
Angkutan Orang dan Barang
Pasal 34
(1) Pengangkutan orang dengan kendaraan bermotor wajib menggunakan kendaraan bermotor untuk penumpang.
(2) Pengangkutan barang dengan kendaraan bermotor wajib menggunakan kcndaraan bermotor untuk barang.
(3) Dalam keadaan tertentu dapat diberikan pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) yang persyaratannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 35
Kegiatan pengangkutan orang dan/atau barang dengan memungut pembayaran hanya dilakukan dengan kendaraan umum.
Bagian Kedua
Angkutan Orang dengan
Kendaraan Umum
Pasal 36
Pelayanan angkutan orang dengan kendaraan umum terdiri dari :
a. angkutan antar kota yang merupakan pemindahan orang dari suatu kota ke kota lain;
b. angkutan kota yang merupakan pemindahan orang dalam wilayah kota;
c. angkutan pedesaan yang merupakan pemindahan orang dalam dan/ atau antar wilayah pedesaan;
d. angkutan lintas batas negara yang merupakan angkutan orang yang melalui lintas batas negara lain.
Pasal
37
(1) Pelayanan angkutan orang dengan kendaraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dapat dilaksanakan dengan trayek tetap dan teratur atau tidak dalam trayek.
(2) Pelayanan angkutan orang dengan kendaraan umum dalam trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan dalam jaringan trayek.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 38
(1) Pengangkutan orang dengan kendaraan umum untuk keperluan pariwisata, dilakukan dengan memperhatikan ketentuan Undang‑undang ini.
(2) Persyaratan dan tata cara memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Angkutan Barang dengan
Kendaraan Umum
Pasal 39
(1) Untuk keselamatan, keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan, dapat ditetapkan jaringan lintas angkutan barang yang dapat dilayani dengan kendaraan bermotor barang tertentu.
(2) Persyaratan dan tata cara penetapan jaringan lintas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 40
Pengangkutah bahan berbahaya, barang khusus, peti kemas, dan alat berat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Pengusahaan
Pasal 41
(1) Usaha angkutan orang dan/atau barang dengan kendaraan umum, dapat dilakukan oleh badan hukum Indonesia atau Warga Negara Indonesia.
(2) Usaha angkutan orang dan/atau barang dengan kendaraan umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan berdasarkan izin,
(3) Jenis, persyaratan, dan tata cara untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Tarif
Pasal 42
Struktur dan golongan tarif angkutan dengan kendaraan umum, ditetapkan oleh Pemerintah.
Bagian
Keenam
Tanggung
Jawab Pengangkut
Pasal
43
(1) Pengusaha angkutan umum wajib mengangkut orang dan/atau barang, setelah disepakatinya perjanjian pengangkutan dan/atau dilakukan pembayaran biaya angkutan oleh penumpang dan/atau pengirim barang.
(2) Karcis penumpang atau surat angkutan barang merupakan tanda bukti telah terjadinya perjanjian angkutan dan pembayaran biaya angkutan.
Pasal
44
Pengusaha angkutan umum wajib mengembalikan biaya angkutan yang telah dibayar oleh penumpang dan/atau pengirim barang, jika terjadi pembatalan pemberangkatan kendaraan umum.
Pasal
45
(1) Pengusaha angkutan umum bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang, pengirim barang atau pihak ketiga, karena kelalaiannya dalam melaksanakan pelayanan angkutan.
(2) Besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), adalah sebesar kerugian yang secara nyata diderita oleh penumpang, pengirim barang atau pihak ketiga.
(3) Tanggung jawab pengusaha angkutan umum terhadap penumpang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dimulai sejak diangkutnya penumpang sampai di tempat tujuan pengangkutan yang telah disepakati.
(4) Tanggung jawab pengusaha angkutan umum terhadap pemilik barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dimulai sejak diterimanya barang yang akan diangkut sampai diserahkannya barang kepada pengirim dan/atau penerima barang.
Pasal 46
(1) Pengusaha angkutan umum wajib mengasuransikan tanggungjawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1).
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 47
Pengemudi kendaraan umum dapat menurunkan penumpang dan/atau barang yang diangkut pada tempat pemberhentian terdekat, apabila temyata penumpang dan/atau barang yang diangkut dapat membahayakan keamanan dan keselamatan angkutan.
Pasal 48
(1) Pengusaha angkutan umum dapat mengenakan tambahan biaya penyimpanan barang kepada pengirim dan/atau penerima barang yang tidak mengambil barangnya, di tempat tujuan dan dalam waktu yang telah disepakati.
(2) Pengirim dan/atau penerima barang hanya dapat mengambil barang setelah biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilunasi.
(3) Barang yang tidak diambil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih dari waktu tertentu, dinyatakan sebagai barang tak bertuan dan dapat dijual secara lelang sesuai ketentuan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.
BAB
IX
LALU
LINTAS DAN ANGKUTAN
BAGI
PENDERITA CACAT
Pasal
49
(1) Penderita cacat berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X
DAMPAK LINGKUNGAN
Pasal 50
(1) Untuk mencegah pencemaran udara dan kebisingan suara kendaraan bermotor yang dapat mengganggu kelestarian lingkungan hidup, setiap kendaraan bermotor wajib memenuhi persyaratan ambang batas emisi gas buang dan tingkat kebisingan.
(2) Setiap pemilik, pengusaha angkutan umum dan/atau pengemudi kendaraan bermotor, wajib mencegah terjadinya pencemaran udara dan kebisingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang diakibatkan oleh pengoperasian kendaraannya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI
PENYERAHAN URUSAN
Pasal 51
(1) Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan pemerintahan dalam bidang lalu lintas dan angkutan jalan kepada Pemerintah Daerah.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XII
PENYIDIKAN
Pasal 52
Pemeriksaan terhadap kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, atau penyidikan terhadap pelanggaran di bidang lalu lintas dan angkutan jalan, tidak disertai dengan penyitaan kendaraan bermotor dan/atau surat tanda nomor kendaraan bermotor, kecuali dalam hal:
a. kendaraan bermotor diduga berasal dari hasil tindak pidana atau digunakan untuk melakukan tindak pidana;
b. pelanggaran lalu lintas tersebut mengakibatkan meninggalnya orang;
c. pengemudi tidak dapat menunjukkan tanda bukti lulus uji kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);
d. pengemudi tidak dapat menunjukkan surat tanda nomor kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2);
e. pengemudi tidak dapat menunjukkan surat izin mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1).
Pasal 53
(1) Selain pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan dibidang lalu lintas dan angkutan jalan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang‑undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang lalu lintas dan angkutan jalan.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berwenang untuk:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran keterangan berkenaan dengan pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor;
b. melarang atau menunda pcngoperasian kendaran bermotor yang tidak memenuhi persyaralan teknis dan laik jalan;
c. meminta keterangan dan barang bukti dari pengemudi, pemilik kendaraan, atau pengusaha angkutan umum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor.
d. melakukan penyitaan tanda uji kendaraan yang tidak sah;
e. melakukan pemeriksaan terhadap perizinan angkutan umum di terminal;
f. melakukan pemeriksaan terhadap berat kendaraan beserta muatannya;
g. membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;
h. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor serta perizinan angkutan umum.
(3) Pelaksanaan penyidikan sebagaimana dalam ayat (1) dan ayat (2), dilakukan sesuai dengan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.
BAB XIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 54
Barangsiapa mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, atau tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan, atau tidak sesuai dengan kelas jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda setinggi‑tingginya Rp. 3.000.0000,‑ (tiga juta rupiah).
Pasal
55
Barangsiapa memasukkan ke dalam wilayah Indonesia atau membuat atau merakit kendaraan bermotor, kereta gandengan, kereta tempelan, dan kendaraan khusus yang akan dioperasikan di dalam negeri yang tidak sesuai dengan peruntukan, atau tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan, atau tidak sesuai dengan kelas jalan yang akan dilaluinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda setinggi‑ tingginya Rp. 12.000.000,‑ (dua belas juta rupiah).
Pasal
56
(1) Barangsiapa mengemudikan kendaraan bermotor, kereta gandengan, kereta tempelan dan kendaraan khusus di jalan tanpa dilengkapi dengan tanda bukti lulus uji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda setinggi‑tingginya Rp. 2.000.000,‑ (dua juta rupiah).
(2) Apabila kendaraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata tidak memiliki tanda bukti lulus uji, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda setinggi‑tingginya Rp. 6.000.000,‑ (enam juta rupiah).
Pasal
57
(1) Barangsiapa mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang tidak didaftarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda setinggi‑tingginya Rp. 6.000.000,‑ (enam juta rupiah).
(2) Barangsiapa mengemudikan kendaraan bermotor tanpa dilengkapi dengan surat tanda nomor kendaraan bermotor, atau tanda nomor kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda setinggi‑tingginya Rp. 2.000.000,‑ (dua juta rupiah).
Pasal 58
Barangsiapa mengemudikan kendaraan tidak
bermotor di jalan yang tidak memenuhi persyaratan keselamatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 7
(tujuh) hari atau denda setinggi‑tingginya Rp.
250.000,‑ (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 59
(1) Barangsiapa mengemudikan kendaraan bermotor dan tidak dapat menunjukkan surat izin mengemudi sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda setinggi‑tingginya Rp 2.000.000,‑ (dua juta rupiah).
(2) Apabila pengemudi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata tidak memiliki surat izin mengemudi, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda setinggi‑tingginya Rp. 6.000.000,‑ (enam juta rupiah).
Pasal 60
(1) Barangsiapa mengemudikan kendaraan bermotor di jalan dalam keadaan tidak mampu mengemudikan kendaraan dengan wajar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda setinggi‑tingginya Rp. 3.000.000,‑ (tiga juta rupiah).
(2) Barangsiapa mengemudikan kendaraan bermotor di jalan dan tidak mengutamakan keselamatan pejalan kaki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda setinggi‑tingginya Rp. 1.000.000,‑ (satu juta rupiah).
Pasal 61
(1) Barangsiapa melanggar ketentuan mengenai rambu‑rambu dan marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, gerakan lalu lintas, berhenti dan parkir, peringatan dengan bunyi dan sinar, kecepatan maksimum atau minimum dan tata cara penggandengan dan penempelan dengan kendaraan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf d, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda setinggi‑tingginya Rp. 1.000.000,‑ (satu juta rupiah).
(2) Barangsiapa tidak menggunakan sabuk keselamatan pada waktu mengemudikan kendaraan bermotor roda empat atau lebih, atau tidak menggunakan helm pada waktu mengemudikan kendaraan bermotor roda dua atau pada waktu mengemudikan kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang tidak dilengkapi dengan rumah‑rumah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf e, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda setinggi‑tingginya Rp 1.000.000,‑(satu juta rupiah).
(3) Barangsiapa tidak memakai sabuk keselamatan pada waktu duduk di samping pengemudi kendaraan bermotor roda empat atau lebih, atau tidak memakai helm pada waktu menumpang kendaraan bermotor roda dua, atau menumpang kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang tidak dilengkapi dengan rumah‑rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda setinggi‑tingginya Rp. 1.000.000,‑ (satu juta rupiah).
Pasal 62
Barangsiapa menggunakan jalan di luar fungsi sebagai jalan, atau menyelenggarakan kegiatan dengan menggunakan jalan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda setinggi‑tingginya Rp. 1.000.000,‑ (satu juta rupiah).
Pasal
63
Barangsiapa terlibat peristiwa kecelakaan lalu lintas pada waktu mengemudikan kendaraan bermotor di jalan dan tidak menghentikan kendaraannya, tidak menolong orang yang menjadi korban kecelakaan, dan tidak melaporkan kecelakaan tersebut kepada pejabat polisi negara Republik Indonesia terdekat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda setinggi‑tingginya Rp. 6.000.000,‑ (enam juta rupiah).
Pasal
64
Barangsiapa tidak mengasuransikan kendaraan bermotor yang digunakan sebagai kendaraan umum, baik terhadap kendaraan itu sendiri maupun terhadap kemungkinan kerugian yang akan diderita oleh pihak ketiga sebagai akibat pengoperasian kendaraannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda setinggi‑tingginya Rp. 3.000.000,‑ (tiga juta rupiah).
Pasal
65
Barangsiapa tidak mengasuransikan orang yang dipekerjakannya sebagai awak kendaraan terhadap resiko terjadinya kecelakaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda setinggi‑tingginya Rp. 3.000.000,‑ (tiga juta rupiah).
Pasal
66
Barangsiapa melakukan usaha angkutan wisata sebagaimana dimaksud
Pasal 38, atau melakukan usaha angkutan orang dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) tanpa izin, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda setinggi‑tingginya Rp. 3.000.000,‑ (tiga juta rupiah).
Pasal
67
Barangsiapa mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak memenuhi persyaratan ambang batas emisi gas buang, atau tingkat kebisingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda setinggi‑tingginya Rp. 2.000.000,‑ (dua juta rupiah).
Pasal
68
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, dan Pasal 67 adalah pelanggaran.
Pasal
69
Jika seseorang melakukan lagi pelanggaran yang sama dengan pelanggaran pertama sebelum lewat jangka waktu satu tahun sejak tanggal putusan pengadilan atas pelanggaran pertama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka pidana yang dijatuhkan terhadap pelanggaran yang kedua ditambah dengan sepertiga dari pidana kurungan pokoknya atau bila dikenakan denda dapat ditambah dengan setengah dari pidana denda yang diancamkan untuk pelanggaran yang bersangkutan.
Pasal
70
(1) Surat izin mengemudi dapat dicabut untuk paling lama 1 (satu) tahun, apabila dilakukan:
a. pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 24 ayat (1) huruf a, pasal 27 ayat (1);
b. tindak pidana kejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 359, Pasal 360, Pasal 406, Pasal 408, Pasal 409, Pasal 410, dan pasal 492 Kitab Undang‑Undang Hukum Pidana, dengan menggunakan kendaraan bermotor.
(2) Surat izin mengemudi dapat dicabut untuk paling lama 2 (dua) tahun dalam hal seseorang melakukan lagi pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal putusan Pengadilan atas pelanggaran terdahulu yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
BAB XIV
KETENTUAN LAIN‑LAIN
Pasal 71
Dengan Peraturan Pemerintah diatur lebih lanjut ketentuan‑ketentuan mengenai :
1. kendaraan bermotor Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;
2. Penggunaan jalan untuk kelancaran:
a. pengantaran jenazah;
b. kendaran pemadam kebakaran yang melaksanakan tugas ke tempat kebakaran;
c. kendaraan Kepala Negara atau Pemerintah Asing yang menjadi tamu negara;
d. ambulans mengangkut orang sakit;
e. konvoi, pawai, kendaraan orang cacat,
f. kendaraan yang penggunaannya untuk keperluan khusus atau mengangkut barang‑barang khusus.
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 72
Pada tanggal mulai berlakunya Undang‑undang ini, semua peraturan pelaksanaan Undang‑undang Nomor 3 Tahun 1965 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2742) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang‑undang ini.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal
73
Pada saat mulai berlakunya Undang‑undang ini, maka Undang‑undang Nomor 3 Tahun 1965 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2742) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 74
Undang‑undang ini mulai berlaku pada tanggal 17 September 1992.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang‑undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 12 Mei 1992
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Mei 1992
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
MOERDIONO
PENJELASAN
ATAS
UNDANG‑UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
14 TAHUN 1992
TENTANG
LALU
LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
UMUM
Bahwa berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa Negara Republik Indonesia telah dianugerahi sebagai negara kepulauan yang terdiri dari beribu pulau, terletak memanjang di garis khatulistiwa, di antara dua benua dan dua samudera, oleh karena itu mempunyai posisi dan peranan yang sangat penting dan strategis dalam hubungan antar bangsa.
Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila, transportasi memiliki posisi yang penting dan strategis dalam pembangunan bangsa yang berwawasan lingkungan dan hal ini harus tercermin pada kebutuhan mobilitas seluruh sektor dan wilayah.
Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan kesatuan serta mempengaruhi semua aspek kehidupan bangsa dan negara.
Pentingnya transportasi tersebut tercermin pada semakin meningkatnya kebutuhan akan jasa angkutan bagi mobilitas orang serta barang dari dan ke seluruh pelosok tanah air, bahkan dari dan ke luar negeri.
Di samping itu, transportasi juga berperan sebagai penunjang, pendorong, dan penggerak bagi pertumbuhan daerah yang berpotensi namun belum berkembang, dalam upaya peningkatan dan pemerataan pembangunan serta hasil‑hasilnya.
Menyadari peranan transportasi, maka lalu lintas dan angkutan jalan harus ditata dalam satu sistem transportasi nasional secara terpadu dan mampu mewujudkan tersedianya jasa transportasi yang serasi dengan tingkat kebutuhan lalu lintas dan pelayanan angkutan yang tertib, selamat, aman, nyaman, cepat, tepat, teratur, lancar, dan dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Lalu lintas dan angkutan jalan yang mempunyai karakteristik dan keunggulan tersendiri perlu dikembangkan dan dimanfaatkan sehingga mampu menjangkau seluruh wilayah pelosok daratan dengan mobilitas tinggi dan mampu memadukan moda transportasi lain.
Pengembangan lalu lintas dan angkutan jalan yang ditata dalam satu kesatuan sistem, dilakukan dengan mengintegrasikan dan mendinamisasikan unsur‑unsurnya yang terdiri dari jaringan transportasi jalan, kendaraan beserta pengemudinya, serta peraturan‑peraturan, prosedur dan metoda sedemikian rupa sehingga terwujud suatu totalitas yang utuh, berdayaguna dan berhasilguna.
Untuk mencapai dayaguna dan hasilguna nasional yang optimal, di samping harus ditata dengan moda transportasi laut dan udara, lalu lintas dan angkutan jalan yang mempunyai kesamaan wilayah pelayanan di daratan dengan perkeretaapian, angkutan sungai, danau dan penyeberangan, maka perencanaan dan pengembangannya perlu ditata dalam satu kesatuan sistem secara tepat, serasi, seimbang, terpadu dan sinergetik antara satu dengan lainnya.
Mengingat penting dan strategisnya peranan lalu lintas dan angkutan jalan yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka lalu lintas dan angkutan jalan dikuasai oleh negara yang pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.
Penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan perlu diselenggarakan secara berkesinambungan dan terus ditingkatkan agar lebih luas daya jangkau dan pelayanannya kepada masyarakat dengan memperhatikan sebesar‑besar kepentingan umum dan kemampuan masyarakat, kelestarian lingkungan, koordinasi antar wewenang pusat dan daerah serta antar instansi, sektor, dan antar unsur terkait serta terciptanya keamanan dan ketertiban masyarakat dalam penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan, sekaligus dalam rangka mewujudkan sistem transportasi nasional yang handal dan terpadu.
Keseluruhan hal tersebut perlu dicerminkan dalam satu Undang‑undang yang utuh.
Dalam Undang‑undang ini juga diatur mengenai hak, kewajiban serta tanggung jawab para penyedia jasa dan para pengguna jasa, dan tanggung jawab penyedia jasa terhadap kerugian pihak ketiga sebagai akibat dari penyelenggaraan angkutan jalan.
Di samping itu dalam rangka pembangunan hukum nasional serta untuk lebih memantapkan perwujudan kepastian hukum, dengan Undang‑undang ini dimaksudkan untuk mengganti Undang‑undang Nomor 3 Tahun 1965 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan belum tertata dalam satu kesatuan sistem yang merupakan bagian dari transportasi secara keseluruhan.
Pengaturan mengenai prasarana perhubungan darat sebagaimana diatur dalam Undang‑undang Nomor 13 Tahun 1980 tentang Jalan, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengaturan mengenai lalu lintas dan angkutan jalan, tetap berlaku mengingat masih dapat menampung perkembangan zaman, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam Undang‑undang ini juga diatur hal‑hal yang bersifat pokok, sedangkan yang bersifat teknis dan operasional akan diatur dalam Peraturan Pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Dalam pengertian barang meliputi barang yang bersifat gas, cair, padat termasuk tumbuh‑tumbuhan dan hewan.
Angka 3
Simpul meliputi terminal transportasi jalan, terminal angkutan sungai dan danau, stasiun kereta api, pelabuhan penyeberangan, pelabuhan laut, dan bandar udara.
Ruang kegiatan antara lain berupa kawasan permukiman, industri, pertambangan, pertanian, kehutanan, perkantoran, perdagangan, pariwisata dan sebagainya. Ruang lalu lintas jalan adalah prasarana dan sarana yang diperuntukkan bagi gerak kendaraan, orang, dan hewan.
Wujud dari ruang lalu lintas jalan dapat berupa jalan, jembatan atau lintas penyeberangan yang berfungsi sebagai jembatan, dan lain lain.
Angka 4
Dalam Undang‑undang Nomor 13 Tahun 1980 tentang Jalan, ditetapkan pengertian jalan adalah suatu prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun meliputi segala bagian jalan termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang selanjutnya ditetapkan pula pengertian jalan umum dan jalan khusus.
Dalam Undang‑undang ini yang dimaksud dengan jalan adalah dalam pengertian jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Undang‑undang Nomor 13 Tahun 1980, yaitu jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum.
Berdasarkan hal tersebut maka dalam Undang‑undang ini pengertian jalan tidak termasuk jalan khusus, yaitu jalan yang tidak diperuntukkan bagi lalu lintas umum, antara lain jalan inspeksi pengairan, jalan inspeksi minyak atau gas, jalan perkebunan, jalan pertambangan, jalan kehutanan, jalan komplek bukan untuk umum, jalan untuk keperluan pertahanan dan keamanan Negara.
Dalam hal suatu ruas jalan khusus berdasarkan peraturan perundang‑undangan yang berlaku atau oleh pemilik dinyatakan terbuka bagi lalu lintas umum, maka terhadap ruas jalan tersebut berlaku peraturan perundang‑undangan mengenai jalan dan undang‑undang ini.
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Yang dimaksud kendaran tidak bermotor dalam ketentuan ini adalah kendaraan yang digerakkan oleh tenaga manusia atau hewan.
Angka 7
Peralatan teknik dalam ketentuan ini dapat berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk merubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
Pengertian kata berada dalam ketentuan ini adalah terpasang pada tempat sesuai dengan fungsinya.
Termasuk dalam pengertian kendaraan bermotor adalah kereta gandengan atau kereta tempelan yang dirangkaikan dengan kendaraan bermotor sebagai penariknya.
Angka 8
Cukup jelas
Angka 9
Termasuk dalam pengertian kendaraan umum adalah kendaraan bermotor yang disewakan kepada orang lain baik dengan maupun tanpa pengemudi, selama jangka waktu tertentu.
Kendaraan bermotor roda dua tidak termasuk dalam pengertian kendaraan umum.
Mobil belajar untuk sekolah mengemudi termasuk juga dalam pengertian kendaraan umum, karena dalam biaya belajar telah termasuk sewa untuk memakai kendaraan tersebut pada waktu dipergunakan untuk belajar.
Angka 10
Cukup jelas
Pasal 2
Dalam ketentuan pasal ini yang dimaksud dengan:
a. asas manfaat yaitu, bahwa lalu lintas dan angkutan jalan harus dapat memberikan manfaat yang sebesar‑besarnya bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengembangan perikehidupan yang berkeseimbangan bagi warga negara;
b. asas usaha bersama dan kekeluargaan yaitu, bahwa penyelenggaraan usaha angkutan dilaksanakan untuk mencapai cita‑cita dan aspirasi bangsa yang dalam kegiatannya dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan;
c. asas adil dan merata yaitu, bahwa penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat;
d. asas keseimbangan yaitu, bahwa lalu lintas dan angkutan jalan harus diselenggarakan sedemikian rupa sehingga terdapat keseimbangan yang serasi antara sarana dan prasarana, antara kepentingan pengguna dan penyedia jasa, antara kepentingan individu dan masyarakat, serta antara kepentingan nasional dan internasional;
e. asas kepentingan umum yaitu, bahwa penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan harus lebih mengutamakan kepentingan pelayanan umum bagi masyarakat luas;
f. asas keterpaduan yaitu, bahwa lalu lintas dan angkutan jalan harus merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, terpadu, saling menunjang dan saling mengisi baik intra maupun antar moda transportasi;
g. asas kesadaran hukum yaitu, bahwa mewajibkan kepada pemerintah untuk menegakkan dan menjamin kepastian hukum serta mewajibkan kepada setiap warga negara Indonesia untuk selalu sadar dan taat kepada hukum dalam penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan;
h. asas percaya pada diri sendiri yaitu, bahwa lalu lintas dan angkutan jalan harus berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri, serta bersendikan kepada kepribadian bangsa;
Pasal 3
Yang dimaksud dengan mampu memadukan moda transportasi lainnya dalam ketentuan ini adalah kemampuan moda lalu lintas dan angkutan jalan untuk memadukan moda transportasi perkeretaapian, laut dan udara satu dengan lainnya, antara lain dengan menghubungkan dan mendinamisasikan antar terminal atau simpul‑simpul lainnya dengan ruang kegiatan.
Mampu menjangkau seluruh pelosok wilayah daratan mengandung pengertian bahwa lalu lintas dan angkutan jalan memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan sampai ke seluruh pelosok wilayah daratan baik melalui prasarana lalu lintas dan angkutan jalan itu sendiri atau merupakan keterpaduan dengan lintas sungai atau danau maupun keterpaduan dengan moda transportasi perkeretaapian, laut dan udara.
Pasal 4
Ayat (1)
Pengertian dikuasai oleh Negara adalah bahwa Negara mempunyai hak penguasaan atas penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan yang pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah. Perwujudan pembinaan tersebut meliputi aspek‑aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan.
Aspek pengaturan mencakup perencanaan, perumusan dan penentuan kebijaksanaan umum maupun teknis untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 antara lain berupa persyaratan keselamatan, perizinan dan penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan.
Aspek pengendalian dilakukan baik di bidang pembangunan maupun operasi berupa pengarahan dan bimbingan terhadap penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan.
Aspek pengawasan adalah pengawasan terhadap penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Dalam pengertian memperhatikan seluruh aspek kehidupan masyarakat meliputi aspek politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, termasuk memperhatikan lingkungan hidup, tata ruang, energi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta hubungan internasional.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Penetapan jaringan transportasi jalan merupakan salah satu unsur pokok dalam rangka pembinaan lalu lintas dan angkutan jalan untuk tercapainya tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Dengan ditetapkannya jaringan transportasi jalan, akan terwujud keterpaduan baik antara lalu lintas dan angkutan jalan dengan perkeretaapian, angkutan sungai dan danau yang mempunyai kesamaan wilayah pelayanan di daratan, maupun antara lalu lintas dan angkutan jalan dengan moda transportasi laut dan udara, yang keseluruhannya ditata dengan pola jaringan transportasi jalan dalam satu kesatuan sistem transportasi.
Ayat (2)
Pengertian fungsi adalah kegiatan menghubungkan simpul dan ruang kegiatan menurut kepentingannya yang meliputi kepentingan lalu lintas dan kepentingan angkutan.
Pengertian peranan adalah tingkat hubungan antar simpul dan ruang kegiatan menurut fungsinya, yang dikelompokkan dalam jaringan antar kota, kota dan pedesaan menurut hirarkhinya masing‑masing.
Pengertian kapasitas lalu lintas adalah volume lalu lintas dikaitkan dengan jenis, ukuran, daya angkut, dan kecepatan kendaraan.
Pengertian kelas jalan adalah klasifikasi jalan berdasarkan muatan sumbu terberat (MST) dan karakteristik lalu lintas.
Muatan sumbu terberat (MST) adalah besarnya beban maksimum sumbu kendaraan bermotor yang diizinkan, yang harus didukung oleh jalan.
Karakteristik lalu lintas adalah kondisi tingkat kepadatan arus lalu lintas pada waktu‑waktu tertentu menurut jenis, ukuran dan daya angkut kendaraan.
Dalam penetapan jaringan transportasi jalan selain mendasarkan kepada ketentuan‑ketentuan dalam Undang‑undang ini, juga memperhatikan Undang‑undang Nomor 13 Tahun 1980 tentang Jalan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Undang‑undang ini.
Pasal 7
Ayat (1)
Pembagian dan penetapan jalan dalam beberapa kelas dimaksudkan juga agar mencapai hasilguna dan dayaguna secara optimal. Pembagian dan penetapan jalan dalam beberapa kelas tersebut didasarkan pada kebutuhan transportasi, pemilihan moda secara tepat dengan mempertimbangkan keunggulan karakteristik masing‑masing moda, perkembangan teknologi kendaraan bermotor, muatan sumbu terberat (MST) kendaraan bermotor serta konstruksi jalan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Ketentuan mengenai kelengkapan jalan ditujukan untuk keselamatan, keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas serta untuk mencapai hasilguna dan dayaguna dalam pemanfaatan jalan untuk lalu lintas serta kemudahan bagi pengguna jalan dalam berlalu lintas.
Huruf a
Pengertian rambu‑rambu adalah salah satu alat perlengkapan jalan dalam bentuk tertentu yang memuat lambang, huruf, angka, kalimat dan/atau perpaduan diantaranya, yang digunakan untuk memberikan peringatan, larangan, perintah dan petunjuk bagi pemakai jalan.
Huruf b
Pengertian marka jalan adalah suatu tanda yang berada di permukaan atau di atas permukaan jalan yang meliputi peralatan atau tanda yang membentuk garis membujur, garis melintang, garis serong serta lambang lainnya yang berfungsi untuk mengarahkan arus lalu lintas dan daerah kepentingan lalu lintas.
Huruf c
Pengertian alat pemberi isyarat lalu lintas adalah peralatan teknis berupa isyarat lampu yang dapat dilengkapi dengan bunyi untuk memberi peringatan atau mengatur lalu lintas orang dan/atau kendaraan di persimpangan, persilangan sebidang ataupun pada ruas jalan.
Huruf d
Pengertian alat pengendali adalah alat tertentu yang berfungsi antara lain untuk mengendalikan kecepatan, ukuran dan beban muatan kendaran pada ruas‑ruas jalan tertentu.
Pengertian alat pengaman pemakai jalan adalah alat tertentu yang berfungsi sebagai alat pengaman dan pemberi arah bagi pemakai jalan misalnya pagar pengaman jalan, dan delinator.
Huruf e
Pengertian alat pengawasan dan pengamanan jalan adalah alat tertentu yang diperuntukkan guna mengawasi penggunaan jalan agar dapat dicegah kerusakan jalan yang diakibatkan oleh pengoperasian kendaraan di jalan yang melebihi ketentuan.
Huruf f
Pengertian fasilitas pendukung dimaksud mencakup antara lain fasilitas pejalan kaki, parkir dan halte.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Pengertian tempat‑tempat tertentu dalam ketentuan ini adalah merupakan suatu kawasan yang memiliki batas tertentu. Pada hakekatnya terminal merupakan simpul dalam sistem jaringan transportasi jalan yang berfungsi pokok sebagai pelayanan umum antara lain berupa tempat untuk naik turun penumpang dan/atau bongkar muat barang, untuk pengendalian lalu lintas dan angkutan kendaraan umum, serta sebagai tempat perpindahan intra dan antar moda transportasi.
Sesuai dengan fungsi tersebut maka dalam pembangunan terminal perlu mempertimbangkan antara lain lokasi, tata ruang, kapasitas, kepadatan lalu lintas dan keterpaduan dengan moda transportasi lain.
Ayat (2)
Pembangunan terminal pada hakekatnya dilaksanakan oleh Pemerintah, namun dapat pula diberikan kesempatan kepada badan hukum Indonesia untuk ikut berperanserta.
Ayat (3)
Penyelenggaraan terminal yang merupakan pelayanan umum dilakukan oleh Pemerintah dan dapat dilimpahkan pelaksanaannya kepada Pemerintah Daerah atau badan usaha milik Negara atau badan usaha milik Daerah yang didirikan untuk itu.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Kegiatan usaha penunjang dalam ketentuan ini antara lain dapat berupa usaha pertokoan, restoran, perkantoran sepanjang usaha penunjang tersebut tidak mengganggu fungsi pokok dari terminal.
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia berperan serta dalam kegiatan usaha penunjang terminal dalam rangka memberikan kemudahan kepada para pengguna jasa.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Penyediaan tempat‑tempat parkir di pinggir jalan pada lokasi jalan tertentu baik di badan jalan maupun dengan menggunakan sebagian dari perkerasan jalan, mengakibatkan terhambatnya arus lalu lintas dan penggunaan jalan menjadi tidak efektif.
Bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya pemilikan kendaraan menambah permintaan akan ruang jalan untuk kegiatan lalu lintas. Fasilitas parkir untuk umum juga dapat berfungsi sebagai salah satu alat pengendali lalu lintas.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka pada kawasan‑kawasan tertentu dapat disediakan fasilitas parkir untuk umum yang diusahakan sebagai suatu kegiatan usaha yang berdiri sendiri dengan memungut bayaran. Fasilitas parkir untuk umum seperti ini antara lain dapat berupa gedung parkir dan taman parkir.
Tidak termasuk dalam pengertian ini adalah fasilitas parkir yang merupakan penunjang dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan pokok dari gedung perkantoran, pertokoan dan lain sebagainya.
Ayat (2)
Mengingat keterbatasan biaya pembangunan dan untuk meningkatkan peranserta masyarakat dalam penyediaan fasilitas parkir untuk umum maka usaha ini terbuka bagi warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Termasuk dalam pengertian dioperasikan di jalan adalah kendaraan yang sedang berjalan atau yang berhenti di jalan. Pengertian sesuai dengan peruntukkannya adalah setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan harus sesuai dengan rancangan peruntukannya.
Pengertian persyaratan teknis adalah persyaratan tentang susunan, peralatan, perlengkapan, ukuran, bentuk, karoseri, pemuatan, rancangan teknis kendaraan sesuai dengan peruntukkannya, emisi gas buang, penggunaan, penggandengan, dan penempelan kendaraan bermotor.
Pengertian laik jalan adalah persyaratan minimun kondisi suatu kendaraan yang harus dipenuhi agar terjaminnya keselamatan dan mencegah terjadinya pencemaran udara dan kebisingan lingkungan pada waktu dioperasikan di jalan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kereta gandengan atau kereta tempelan adalah suatu alat yang dipergunakan untuk mengangkut barang dan dirancang untuk ditarik oleh kendaraan bermotor.
Rangkaian kendaraan bermotor dengan kereta gandengan atau kereta tempelan ditetapkan sebagai kendaraan bermotor.
Yang dimaksud dengan kendaraan khusus adalah kendaraan bermotor selain daripada kendaraan bermotor untuk penumpang dan kendaraan bermotor untuk barang, yang penggunaannya untuk keperluan khusus atau mengangkut barang‑barang khusus.
Misalnya kendaraan bermotor derek, kendaraan bermotor pemadam kebakaran, kendaraan bermotor untuk angkutan barang berbahaya dan beracun, dan kendaraan bermotor pencampur beton, dan lain sebagainya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Pengujian dimaksudkan agar kendaraan bermotor yang akan digunakan di jalan memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan, termasuk persyaratan ambang batas emisi gas buang dan kebisingan yang harus dipenuhi.
Kendaraan‑kendaraan khusus harus diuji secara khusus, karena di samping memiliki peralatan standar yang dipersyaratkan untuk kendaraan bermotor pada umumnya, kendaraan khusus memiliki peralatan tambahan yang bersifat khusus untuk penggunaan khusus, misalnya katup penyelamat, tangki bertekanan dan lain sebagainya.
Ayat (2)
Pengujian tipe kendaraan bermotor dimaksudkan untuk melakukan pengujian terhadap tipe atau contoh produksi kendaraan bermotor untuk memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan sebelum tipe kendaraan bermotor tersebut disetujui diimpor atau diproduksi dan/atau dirakit secara masal.
Termasuk dalam uji tipe ini adalah uji sampling yaitu pengujian terhadap salah satu dari seri produksi kendaraan bermotor yang tipenya telah disahkan dan disetujui.
Untuk menjamin agar kendaraan bermotor selalu dalam kondisi memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan, maka diberlakukan uji berkala dalam satu periode tertentu.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Dalam Peraturan Pemerintah diatur pula mengenai pentahapan pemberlakuan ketentuan mengenai wajib uji.
Pasal 14
Ayat (1)
Kewajiban pendaftaran kendaraan bermotor adalah untuk mengumpulkan data yang dapat digunakan untuk tertib administrasi, pengendalian kendaraan yang dioperasikan di Indonesia, mempermudah penyidikan pelanggaran atau kejahatan yang menyangkut kendaraan yang bersangkutan serta dalam rangka perencanaan, rekayasa dan manajemen lalu lintas dan angkutan jalan dan memenuhi kebutuhan data lainnya dalam rangka perencanaan pembangunan nasional.
Ayat (2)
Bukti pendaftaran kendaraan bermotor diberikan kepada orang yang namanya tertera di dalamnya dan merupakan tanda bukti bagi yang bersangkutan bahwa kendaraan telah didaftarkan dan dapat berfungsi sebagai bukti pemilikan kendaraan bermotor.
Selain diberikan bukti pemilikan kendaraan bermotor, diberikan pula surat tanda nomor kendaraan bermotor dan tanda nomor kendaraan bermotor bagi kendaraan bermotornya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan yang berlaku.
Untuk keperluan membawa kendaraan baru dari pabrik pembuat/perakit dan/atau pelabuhan impor ke tempat‑tempat penjualan, serta untuk keperluan mencoba kendaraan baru sebelum kendaraan tersebut dijual, dapat diberikan surat tanda coba dan tanda coba kendaraan bermotor.
Ayat (3)
Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur pula mengenai perubahan nama atau karakter pokok kendaraan bermotor dari yang tercantum dalam surat bukti pendaftaran.
Pasal 15
Ayat (1)
Bengkel kendaraan bermotor berfungsi untuk membetulkan, memperbaiki, dan merawat kendaraan bermotor agar tetap memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan.
Untuk mencapai dayaguna dan hasilguna yang optimal serta mencegah pencemaran udara dan kebisingan lingkungan, maka ditetapkan persyaratan teknis yang wajib dipenuhi oleh penyelenggara kegiatan pemberian jasa perbengkelan kendaraan bermotor untuk umum.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Sesuai dengan tujuannya yaitu untuk keselamatan, keamanan, dan ketertiban lalu lintas dan angkutan jalan, maka pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dilakukan tidak pada satu tempat tertentu dan tidak secara terus menerus.
Ayat (2)
Pemeriksaan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor dilakukan oleh petugas yang memiliki kualifikasi tertentu, dalam rangka pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan dari kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan termasuk dalam hal ini pemenuhan terhadap persyaratan ambang batas emisi gas buang dan kebisingan.
Sedangkan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam huruf b ayat ini dilakukan terhadap kelengkapan persyaratan administrasi baik bagi pengemudi maupun kendaraan bermotor yang berada di jalan.
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini dapat pula dimanfaatkan untuk berbagai keperluan dalam rangka pelaksanaan tugas‑tugas pemerintahan lainnya yang pelaksanaannya dilakukan secara gabungan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Kendaraan tidak bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh tenaga orang atau hewan.
Persyaratan ini dimaksudkan untuk menjamin keselamatan lalu lintas pada umumnya.
Persyaratan keselamatan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini ialah kelengkapan yang wajib berada pada kendaraan tidak bermotor antara lain berupa rem, lampu, isyarat dengan bunyi, serta persyaratan mengenai tatacara memuat dan batas maksimum muatan yang diperkenankan.
Hewan yang secara langsung mengangkut barang dan/atau orang, tidak dikategorikan sebagai kendaraan tidak bermotor.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Pengemudi adalah orang yang mengemudikan kendaraan. Surat Izin Mengemudi diberikan kepada orang yang namanya tertera di dalamnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan yang berlaku, dan merupakan tanda bukti kecakapan dan keabsahan pengemudi untuk mengemudikan kendaraan bermotor di jalan dan dapat pula digunakan sebagai identitas pengemudi.
Termasuk dalam pengertian pengemudi adalah orang yang langsung mengawasi orang lain mengemudikan kendaraan misalnya seorang instruktur pada sekolah mengemudi yang berada di samping calon pengemudi pada waktu praktek mengemudikan kendaraan bermotor di jalan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Ujian kemampuan mengemudi di samping meliputi pengetahuan dan ketrampilan juga meliputi sikap mental calon pengemudi yang merupakan salah satu pertimbangan pokok di dalam pemberian surat izin mengemudi.
Kemampuan mengemudi dapat diperoleh melalui pendidikan mengemudi, dengan maksud agar seorang calon pengemudi memenuhi persyaratan‑persyaratan tersebut di atas.
Penyelenggaraan pendidikan mengemudi tersebut dilaksanakan sesuai dengan Undang‑undang Nomor, 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Faktor kelelahan dan kejenuhan sangat berpengaruh terhadap kemampuan pengemudi dalam mengemudikan kendaraan bermotor secara wajar. Oleh karena itu diperlukan pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat pengemudi dan pergantian pengemudi setelah menempuh jarak dan waktu tertentu mutlak diperlukan.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi keselamatan pengemudi dan masyarakat, baik sebagai penumpang maupun sebagai pemilik barang serta pengguna jalan lainnya. Selain itu, ketentuan ini juga diperlukan untuk menjaga keselamatan lalu lintas pada umumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pengecualian tersebut dilakukan dalam rangka keselamatan, keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Pengertian rekayasa lalu lintas meliputi perencanaan, pengadaan, pemasangan, dan pemeliharaan fasilitas kelengkapan jalan serta rambu‑rambu lalu lintas, marka jalan, lampu lalu lintas dan fasilitas keselamatan lalu lintas.
Pengertian manajemen lalu lintas meliputi kegiatan perencanaan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian lalu lintas yang bertujuan untuk keselamatan, keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas.
Huruf b
Termasuk dalam pengertian gerakan lalu lintas kendaraan bermotor antara lain adalah melewati, berpapasan, membelok, memperlamabat kendaraan, posisi kendaraan di jalan, jarak antara kendaraan dan hak utama pada persimpangan dan perlintasan sebidang.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Pengertian peralatan adalah peralatan yang harus berada pada kendaraan antara lain berupa peralatan yang berfungsi untuk memperbaiki kendaraan apabila mengalami kerusakan di jalan, sedangkan pengertian perlengkapan adalah kelengkapan dari kendaraan yang harus ditempatkan pada kendaraan bermotor antara lain berupa ban cadangan, segi tiga pengaman dan sebagainya.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Hal ini dimaksudkan agar pengemudi mengutamakan keselamatan pejalan kaki.
Huruf h
Dalam hal karena sesuatu pekerjaan jalan atau terjadi kerusakan jalan dan/atau jembatan sehingga mengakibatkan daya dukungnya lebih rendah dari kelas jalan yang ditetapkan semula, maka untuk keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan ditetapkan besarnya muatan sumbu kendaraan yang diizinkan lebih rendah dari muatan sumbu terberatnya.
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
Huruf k
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan mampu mengemudikan kendaraannya dengan wajar adalah tanpa dipengaruhi keadaan sakit, lelah, atau meminum sesuatu yang mengandung alkohol atau obat bius sehingga mempengaruhi kemampuannya dalam mengemudikan kendaraan ataupun oleh hal lain.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Pengertian tanda bukti lain yang sah antara lain berupa tanda bukti yang bersifat sementara yang berfungsi sebagai pengganti Surat Tanda Nomor Kendaraan dan/atau Surat Izin Mengemudi dan/atau tanda bukti pengujian, dan/atau perizinan angkutan umum yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini pelaksanaannya dilakukan secara bertahap.
Sesuai dengan kemajuan teknologi dapat digunakan peralatan keselamatan dalam bentuk lain yang dapat menggantikan fungsi sabuk keselamatan.
Ayat (2)
Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini pelaksanaannya dilakukan secara bertahap.
Kewajiban penggunaan sabuk keselamatan dan helm bagi pengemudi dan penumpang kendaraan bermotor roda tiga akan diatur kemudian oleh pejabat yang berwenang.
Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a
Pengertian merintangi antara lain menyebrang jalan tidak pada tempat yang telah disediakan, menggembala hewan di jalan, pengemudi memotong jalan, mengangkut barang atau melewati kendaraan lain sedemikian rupa sehingga mengganggu pengemudi lainnya.
Pengertian membahayakan kebebasan dan keamanan lalu lintas antara lain berjualan di jalan, melakukan kegiatan di jalan selain untuk kegiatan lalu lintas dan angkutan di jalan tanpa izin, mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan.
Pengertian yang dapat menimbulkan kerusakan jalan antara lain dalam hal pengemudi mengangkut muatan melebihi daya dukung jalan dan/atau melebihi kapasitas kendaraan.
Huruf b
Penempatan yang sesuai dengan peruntukkan antara lain meliputi penempatan kendaraan sesuai dengan rambu‑rambu jalan misalnya parkir hanya ditempat yang ditunjuk.
Penggunaan jalan untuk parkir kendaraan atau menempatkan barang sehingga mengganggu kelancaran dan keamanan lalu lintas, termasuk merupakan kegiatan yang menimbulkan rintangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Pada dasarnya jalan digunakan untuk kepentingan lalu lintas umum, tetapi dalam keadaan tertentu dan dengan tetap mempertimbangkan keselamatan dan ketertiban lalu lintas umum, jalan dapat diizinkan digunakan di luar fungsi sebagai jalan antara lain untuk perlombaan atau pacuan.
Pengertian penyelenggaraan kegiatan sebagimana dimaksud dalam ayat ini antara lain menyelenggarakan kegiatan yang menyebabkan terjadinya limpahan orang atau kendaraan ke jalan sehingga menggangu keselamatan dan kelancaran lalu lintas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Pejalan kaki yang berjalan pada jalan yang tidak dilengkapi dengan bagian jalan dan tempat penyeberangan khusus bagi pejalan kaki, tetap wajib diperhatikan dan dilindungi keselamatannya oleh setiap pengemudi.
Pemerintah wajib mengatur berfungsinya bagian jalan dan tempat penyeberangan bagi pejalan kaki, serta menjaga keseimbangan antara ruang bagi pejalan kaki dengan ruang lalu lintas bagi kendaraan bermotor.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kewajiban pengemudi untuk menolong korban yang memerlukan perawatan harus diutamakan.
Ayat (2)
Pengertian keadaan memaksa dalam ketentuan ini adalah suatu keadaan yang dapat membahayakan keselamatan atau jiwa pengemudi kendaraan bermotor apabila menghentikan kendaraannya untuk menolong korban.
Pasal 28
Dalam hal kecelakaan yang melibatkan lebih dari satu orang pengemudi maka tanggung jawab terhadap kerugian materi yang ditimbulkan ditanggung secara bersama‑sama.
Pasal 29
Huruf a
Pengertian keadaan memaksa adalah peristiwa yang tidak dapat dielakkan atau diluar kemampuan pengemudi untuk mengelakkan terjadinya kecelakaan lalu lintas.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Bantuan yang diberikan kepada korban atau ahli warisnya adalah atas dasar kemanusiaan, di luar hak korban yang dilindungi oleh peraturan perundang‑undangan yang berlaku.
Ayat (2)
Lihat penjelasan ayat (1).
Pasal 32
Ayat (1)
Kewajiban mengasuransikan kendaraan bermotor dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat yang menderita kerugian sebagai akibat dari kelalaian pengemudi dalam mengemudikan kendaraan bermotor.
Ketentuan ini hanya mengatur mengenai kerugian harta benda yang diderita oleh pihak ketiga, karena pada saat Undang‑undang ini diberlakukan kerugian yang menyangkut jiwa atau kesehatan orang telah diatur di dalam Undang‑undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Sumbangan Wajib Kecelakaan Lalu Lintas.
Kewajiban di dalam ketentuan ini diberlakukan secara bertahap sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Ayat (2)
Dalam Peraturan Pemerintah ditetapkan antara lain menyelenggarakan kewajiban asuransi dan pentahapan pemberlakukan kewajiban tersebut sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini.
Pasal 33
Ayat (1)
Kewajiban mengasuransikan orang yang dipekerjakan sebagai awak kendaraan dimaksudkan karena dalam pengoperasian kendaraan dihadapkan pada resiko yang tinggi baik bagi dirinya maupun orang lain. Awak kendaraan adalah pengemudi dan kondektur untuk kendaraan umum angkutan penumpang atau pengemudi dan pembantunya untuk kendaraan umum angkutan barang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Kendaraan bermotor untuk penumpang adalah kendaraan bermotor yang dipergunakan untuk mengangkut penumpang, baik dengan maupun tanpa tempat bagasi. Ketentuan ini dimaksudkan terutama untuk menjaga keselamatan dan kenyamanan penumpang.
Oleh karena itu penggunaan kendaraan bermotor untuk barang dilarang digunakan untuk mengangkut penumpang.
Ayat (2)
Kendaraan bermotor untuk barang adalah kendaraan bermotor yang peruntukkannya guna mengangkut barang.
Ayat (3)
Dalam keadaan tertentu, terutama di daerah yang sarana transportasinya belum memadai, masih diperlukan kelonggaran dalam penerapan ketentuan ayat (1) dan ayat (2), dengan tetap mengutamakan keselamatan dan keamanan lalu lintas. Oleh sebab itu pelaksanaannya perlu dilakukan dengan syarat‑ syarat yang ketat.
Pasal 35
Ketentuan ini tidak berlaku bagi kendaraan tidak bermotor.
Pasal 36
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Dalam rangka menjamin kelangsungan pelayanan angkutan, keseragaman dan keteraturan dalam pemberian pelayanan, ditentukan pelayanan wilayah kota yang didasarkan pada sifat dan keteraturan perjalanan, jarak dan waktu tempuh, berkembangnya suatu daerah atau kawasan menjadi kawasan permukiman, perdagangan, industri, perkantoran dan sebagainya.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1)
Pengertian trayek tetap dan teratur adalah pelayanan angkutan yang dilakukan dalam jaringan trayek secara tetap dan teratur, dengan jadwal tetap atau tidak berjadwal. Sedangkan pengertian tidak dalam trayek adalah pelayanan angkutan yang dilakukan dengan tidak terikat dalam jaringan trayek tertentu dengan jadwal pengangkutan yang tidak teratur.
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengendalikan pelayanan angkutan dengan kendaraan umum agar dapat dicapai keseimbangan antara kebutuhan jasa angkutan dengan penyediaan jasa angkutan, antara kapasitas jaringan transportasi jalan dengan kendaraan umum yang beroperasi, serta untuk menjamin kualitas pelayanan angkutan penumpang.
Di dalam jaringan trayek ditetapkan jenis, spesifikasi serta jumlah kendaraan yang diizinkan melayani setiap trayek.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Angkutan wisata pada dasarnya merupakan angkutan yang memiliki ciri pelayanan khusus, dan diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan dan pelayanan wisata.
Namun demikian penyelenggaraannya harus tetap memenuhi ketentuan Undang‑undang ini.
Ketentuan ini dimaksudkan agar penyelenggaraan angkutan untuk keperluan pariwisata dan penyewaan kendaraan baik dengan pengemudi maupun tanpa pengemudi, dapat diselenggarakan secara lebih teratur.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Pengertian jaringan lintas adalah jaringan pelayanan angkutan barang yang ditetapkan berdasarkan kelas jalan yang sama.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Termasuk dalam pengertian badan hukum Indonesia adalah koperasi.
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin adanya pemerataan dalam pengusahaan angkutan umum dengan tetap mempertimbangkan keseimbangan antara permintaan dan penawaran jasa angkutan dan kualitas pelayanan.
Ayat (3)
Dalam pengaturan tersebut diberikan pula kemungkinan pemberian kelonggaran terhadap usaha tertentu di wilayah atau dalam keadaan tertentu.
Pasal 42
Dalam penetapan struktur dan golongan tarif Pemerintah memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan perusahaan angkutan umum.
Pemerintah menetapkan tarif yang berorientasi kepada kepentingan dan kemampuan masyarakat luas.
Dengan berpedoman kepada struktur dan golongan tarif tersebut perusahaan angkutan umum menetapkan tarif yang berorientasi kepada kelangsungan dan pengembangan usahanya dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan serta perluasan jaringan pelayanan angkutan di jalan.
Tarif angkutan lintas batas ditetapkan berdasarkan perjanjian antara kedua negara.
Pasal 43
Ayat (1)
Ketentuan wajib angkut ini dimaksudkan agar perusahaan angkutan umum tidak melakukan perbedaan perlakuan terhadap pengguna jasa angkutan, sepanjang pengguna jasa angkutan telah memenuhi persyaratan sesuai perjanjian pengangkutan yang telah disepakati.
Ayat (2)
Pembayaran yang dilakukan penumpang dalam trayek tetap dan teratur maupun tidak dalam trayek seperti pada angkutan kota dan pedesaan, yang lazimnya tidak memakai karcis juga dianggap sebagai bukti terjadinya perjanjian angkutan.
Namun demikian, dalam penetapan besarnya tarif tetap harus berpedoman kepada struktur dan golongan tarif‑yang ditetapkan pemerintah.
Pemerintah secara bertahap memberlakukan penggunan karcis angkutan penumpang bagi kendaraan umum yang belum menggunakan karcis.
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Ayat (1)
Dalam pelaksanaan angkutan, keselamatan orang dan barang yang diangkut pada dasarnya berada dalam tanggung jawab pengusaha angkutan.
Dengan demikian sudah sepatutnya apabila kepada pengusaha angkutan dibebankan tanggung jawab terhadap setiap kerugian yang diderita oleh penumpang atau pengirim barang, yang ditimbulkan karena pelaksanaan pengangkutan yang dilakukannya.
Di samping hal tersebut ketentuan ini dimaksudkan pula agar pengusaha angkutan dalam melaksanakan pengangkutan benar‑benar dapat menyadari besarnya tanggung jawab yang dipikulnya.
Ayat (2)
Besarnya ganti rugi yang harus ditanggung oleh pengusaha angkutan yang harus dibayar kepada pengguna jasa atau pihak ketiga adalah sebesar kerugian yang secara nyata diderita oleh penumpang atau pengirim barang atau pihak ketiga.
Tidak termasuk dalam pengertian kerugian yang secara nyata diderita antara lain adalah:
a. keuntungan yang diharapkan akan diperoleh;
b. kekurangnyamanan yang diakibatkan karena kondisi jalan, atau jembatan yang dilalui selama dalam perjalanan;
c. biaya atas pelayanan yang sudah dinikmati.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 47
Pertimbangan yang digunakan untuk dapat menurunkan orang atau barang yang diangkut benar‑benar harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan norma kepatutan misalnya dalam hal melakukan keributan di dalam kendaraan sehingga mengganggu penumpang lainnya, walaupun telah diperingatkan secara patut atau barang yang diangkut ternyata barang berbahaya atau dapat mengganggu penumpang.
Pengertian tempat pemberhentian terdekat adalah tempat‑tempat yang telah dihuni oleh manusia misalnya suatu kota atau desa atau tempat‑tempat yang dianggap layak untuk menurunkan barang yang patut diketahui barang berbahaya.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan waktu tertentu adalah tambahan tenggang waktu yang disepakati oleh pengusaha angkutan dan pengirim barang mulai batas akhir waktu pengambilan barang sampai dengan barang tersebut dapat dinyatakan tidak bertuan.
Pasal 49
Ayat (1)
Perlakuan khusus tersebut berupa antara lain penyediaan sarana dan prasarana bagi penderita cacat, persyaratan khusus untuk memperoleh surat izin mengemudi, pengoperasian kendaraan khusus oleh penderita cacat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 50
Ayat (1)
Pengertian emisi gas buang adalah gas dan/atau asap yang dikeluarkan dari pipa gas buang kendaraan bermotor. Sedangkan kebisingan adalah suara yang dikeluarkan dari kendaran bermotor.
Ayat (2)
Ketentuan ini diamaksudkan agar pemilik, pengusaha angkutan dan/atau pengemudi tetap menjaga kondisi kendaraannya sehingga tetap memenuhi persyaratan ambang batas emisi gas buang dan kebisingan, disesuaikan dengan perkembangan teknologi kendaraan bermotor di Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 51
Ayat (1)
Penyerahan sebagian urusan pemerintahan dalam bidang lalu lintas dan angkutan jalan, bertujuan untuk meningkatkan fungsi lalu lintas dan angkutan jalan sehingga pelayanan terhadap masyarakat menjadi lebih baik.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 52
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindarkan kerugian dalam arti yang luas.
Bagi pemeriksa atau aparat penyidik akan berarti berkurangnya beban administrasi dan pemeliharaan atau pengamanan kendaraan bermotor yang disita.
Selain itu, langkah ini juga menghindarkan kewajiban penyediaan ruang atau halaman untuk menyimpan kendaraan bermotor tersebut, atau menghindarkan penempatan kendaraan bermotor yang disita di jalan‑jalan umum yang bahkan dapat mengganggu kelancaran lalu lintas.
Bagi pemilik kendaraan bermotor, tidak dilakukannya penyitaan tadi juga mengurangi kerugian dalam arti ekonomi. Hal ini terutama terasa apabila kendaraan bermotor digunakan untuk kegiatan usaha atau pelaksanaan tugas sehari‑hari.
Tetapi sebaliknya apabila tanda bukti lulus uji tidak dapat ditunjukkan pengemudi kendaraan bermotor, maka penyitaan tersebut memang harus dilakukan untuk melindungi keselamatan masyarakat dan keamanan lalu lintas.
Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini adalah untuk mendidik para pengemudi, pemilik kendaraan bermotor agar selalu sadar dan taat kepada hukum, dan sifatnya sementara sampai dapat menunjukkan bukti yang diperlukan, dan dilakukan secara wajar.
Pasal 53
Ayat (1)
Penyidikan pelanggaran terhadap persyaratan teknis dan laik jalan memerlukan keahlian, sehingga perlu adanya petugas khusus untuk melakukan penyidikan di samping pegawai yang biasa bertugas menyidik tindak pidana. Petugas dimaksud adalah pegawai negeri sipil di lingkungan departemen yang membawahi bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Yang dimaksud dengan perizinan angkutan umum adalah perizinan yang berkaitan dengan pendirian usaha angkutan umum dan perizinan yang berkaitan dengan pengaturan dan pengendalian angkutan umum yang beroperasi dalam jaringan trayek dan tidak dalam jaringan trayek. Walaupun ketentuan ini menetapkan bahwa pemeriksaan terhadap perizinan angkutan umum adalah di terminal, namun dalam keadaan‑keadaan tertentu pemeriksaan tersebut dapat dilakukan di luar terminal.
Huruf f
Alat yang digunakan untuk memeriksa berat kendaraan beserta muatannya dapat berupa alat untuk menimbang yang dipasang secara tetap pada suatu tempat tertentu atau alat yang dapat dipindah‑pindahkan.
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Ayat (3)
Pelaksanaan penyidikan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang‑undangan yang berlaku antara lain Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 107 Undang‑undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Ayat (1)
Ancaman pidana ini dimaksudkan untuk menangkal pelanggaran lalu lintas oleh pengemudi yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas